Wednesday, May 23, 2007

Friendship Lasts Forever

by A. Junaidy

though phone calls seemed never,
any rare contact I still prefer.
because I believe friendship lasts forever.

Monday, May 07, 2007

Dari Ngasem ke Taman Sari

by A. Junaidy

Aku di Jogja sudah menetap hampir selama 5 tahun. Sudah cukup terbiasa dengan apa saja yang ada di Jogja. Meski begitu, aku bukan jenis orang yang suka "mengukur jalan" alias jalan-jalan. Dus, kalau anda bertanya tempat mana saja yang sudah pernah aku jelajahi, jawabannya ga banyak. Kalau sekadar keluar ke arah Malioboro tentunya sudah. Setiap orang tuaku datang selalu mengantar ke Pasar Beringharjo. Pernah putar-putar cari kantor PMI di Kotagede atau menemani Danila yang baru diputusin ceweknya di Alun - Alun Kidul sampai jam 3 pagi. Jalur-jalur standar sudah pernah dilewati. Ada juga yang belum.

Selama di Jogja, aku belum pernah mampir ke Candi Prambanan padahal setiap pulang ke rumah selalu melewati kompleks candi ini. Atau jalan ke Kraton, atau di sudut-sudut jalan benteng Kraton. Terakhir ke Borobudur tahun 1990, sepulang dari Jakarta. Belum pernah ke Imogiri, makam para raja Mataram. Festival Sekaten pun juga terlewatkan kemarin. Di penghujung tahun kelima ku ini rasanya ingin kujelajahi semua tempat di Jogja. What the heck have I been doing for the past 5 years then?

Minggu kemarin (1/4 ‘07), Aziz mengajak beli makanan ikan di Ngasem, sebuah tempat bagi para penggemar berbagai jenis peliharaan. Mulai dari jenis burung-burungan sampai anjing. Kalau cuma lewat Ngasem sih aku pernah tapi belum pernah masuk sampai ke dalamnya. Terus terang aku kehilangan orientasi arah sebelum sampai di Ngasem. Semenjak masuk gerbang benteng bagian timur, aku kebingungan mana arah utara-selatan-barat-timur. Aziz sih sudah ga terlalu bingung. Ini gara-gara Aziz yang sudah terbiasa mondar-mandir ke Ngasem jadi dia sudah hapal jalan seperti garis telapak tangannya. Melewati alun - alun utara, masih ada pedagang yang berjualan sehabis festival Sekaten yang kemarin berakhir. Sisanya beres-beres barang dagangan dan stannya. Tahun ini, festival sekaten harus berurusan dengan hujan di penghujung acaranya dan Kedaulatan Rakyat menulis target keuntungan ga tercapai.

Sampai di Ngasem, kami menuju ke tempat pedagang ikan hias. Aziz beli sekantong ikan kecil buat pakan ikan peliharaannya yang berjenis predator. Harganya 2000 perak. Setelah itu mampir ke penjual ikan hias yang lain, bertanya jenis baru apa saja yang tersedia. Sepanjang pinggiran jalan di Ngasem ada beberapa jenis penjual, di bagian itu ada yang jual ikan, ada yang jual binatang pengerat sejenis marmut dan sebagainya, ada juga yang berjualan anjing atau kucing yang masih kecil dan imut.

"Anjingnya lucu ya Ziz, cuma najisnya itu...," kataku.

"Aku paling takut sama yang namanya anjing. Sewaktu kecil aku sering dikejar anjing, hiiih..." tukas Aziz.

"Kalau kita ga repot sama najisnya aku sih mau miara mereka."

"Aku emoh," jawab Aziz menegaskan ketidakmauannya akan anjing.

Mampir di beberapa kios penjual ikan, ada beberapa jenis ikan yang dulu pernah aku piara di akuarium rumah. Manfish, alligator (ikan yang moncongnya lancip dan selalu menjadikan ikan lebih kecil sebagai menu makan), oscar, cupang, ikan neon, sapu, arwana. Pernah juga miara kura-kura, sayang kura-kura itu akhirnya dilepas gara-gara rumah di Mrican sering disamperin ular yang berteman baik dengan kura-kura itu.

Cerita kura-kura peliharaanku. Kura-kura ini ditemukan ga sengaja sama tukang kebun dan ditaruh di rumah. Kami yang masih kecil senang saja ada kura-kura yang bisa dipiara. Kura-kura ditaruh di kolam kecil, diisi air secukupnya. Setiap hari diberi makan daun bayam atau kangkung. Mereka vegetarian kan? Cuma semenjak itu kura-kura jadi piaraan kami, sering ular-ular berseliweran di halaman rumah, baik depan atau belakang. Kalau ularnya cuma ular tanah biasa sih ga terlalu khawatir, soalnya rumah kami dekat dengan Kali Brantas. Tapi ularnya yang sering main ke rumah itu sejenis dengan kobra, kalau ngambeg menegakkan dan mengembangkan badannya. Siapa yang ga khawatir coba?

Pernah suatu ketika si kura-kura raib dari kolamnya. Semua ditanya, siapa yang memindahkan kura-kuranya, ga ada yang jawab. Sehari berselang, dua hari berselang. Hari ketiga si kura-kura ditemukan di pojok belakang rumah. Agus, tukang kebun yang menemukan, menjelaskan dengan bahasa isyarat (maklum, si Agus orangnya bisu dari lahir) kalau si kura-kura ditemukan bersama ular. Ularnya dalam posisi merangkul kura-kura. Nah loh...khawatirlah kami. Walaupun kami ga percaya dengan klenik-klenik seperti itu, pertemanan kura-kura dan golongan ular (yang notabene sama-sama dari golongan reptil) bisa bikin rumah terancam. Daripada nanti ada akibat yang ga diinginkan, akhirnya diambil keputusan si kura-kura dilepas ke Kali Brantas lagi untuk melanjutkan pertemanannya di alam bebas. Sewaktu melepas si kura-kura, adik-adikku bilang, "Nanti kalau kamu ga betah di sana dan pengen balik ke sini (rumah), balik aja. Kita seneng-seneng aja kamu di rumah". Ck cK ck...dan ternyata si kura-kura lebih suka main di Kali Brantas dan memilih untuk ga balik ke rumah kami. Anehnya, sejak kura-kura balik ke habitatnya, ular-ular sangat jarang berseliweran di rumah. Sukurlah...

Aziz berbicara dengan penjual di kios langganannya. Dia bertanya ikan jenis baru apa saja yang ready stock.

"Ikan jenis baru sudah ga ada, habis diborong orang yang pesan," kata penjual. "Bagaimana sama jenis yang itu, oscar atau yang kecil-kecil itu?" tawar pedagang.

"Kalau yang itu aku sudah ada, yang lainnya dong. Masak ga ada sih yang baru?" tanya Aziz.

"Yang jenis-jenis baru sudah habis dibeli orang. Lagian kalau mau jenis itu mesti pesen dulu. Kalau pun ada di sini biasanya langsung ada yang beli, ga bakalan nginep di akuarium sini lebih dari sehari."

Aku tanya sama penjual, "Kiriman ikan baru biasanya dari mana mas?"

"Bogor, Sukabumi atau daerah Jawa Barat sana. Di sana kan ada banyak peternakan ikan," jelasnya.

Aku cukup tahu kalau daerah Bogor sana memang ada banyak peternakan ikan, mulai dari ikan untuk dikonsumsi sampai ikan hias. Pakdeku pernah mengajak ke daerah dekat IPB Darmaga, lihat peternakan ikan patin. Ternyat ga cuma patin yang dipiara di sana. Ada ikan mulai lele, mujahir, nila dan macam-macam. Maklum saja di sana ada banyak peternakan ikan, di sana tanahnya luas, air juga cukup bagus, dekat IPB lagi yang sekaligus bisa jadi tempat praktik kuliah. Ternyata jaringan penjual ikan di Jogja ini sampai ke sana juga.

"Ziz, kalau jalan ini ke belakang tembusnya ke mana?" tanyaku saat melihat ada jalan masuk ke selatan.

"Itu jalan masuk ke arah pasar burungnya, kalau mau terus ke belakang bisa sampai Taman Sari."

"Oh ya? Taman Sari dekat ga? Aku belum pernah ke sana."

"Kamu mau ke sana? Lewat jalan pasar saja, aku sebenarnya sih lupa-lupa ingat. Terakhir aku ke Taman Sari lewat jalan itu sudah lama. Pas aku lagi hunting foto sama Pak E (Edial Rusli)."
Aku mengangguk setuju.

Kami berjalan lewat jalan pasar burung Ngasem ke arah selatan. Sepanjang jalan terlihat beberapa jenis unggas, mulai dari jenis yang kecil seperti burung ocehan sampai jenis ayam. Terlihat beberapa burung yang pernah dipelihara bapakku. Kami pernah piara burung perkutut, puter, derkuku, beo, merpati. Penah pula kami piara ayam yang eksotis, ayam hutan dan ayam bekisar (silangan ayam hutan + ayam kampung), begitu juga ayam kapas. Lewat jalan itu seperti reuni dengan masa lalu di Tulungagung sampai Kediri.

Sampai ujung belakang pasar, kami melewati sebuah gapura besar, yang jadi penanda kami sudah memasuki kompleks luar Taman Sari. Di bagian itu, bangunannya tak terawat dimakan usia. Terdengar suara sepasang anak muda cekikikan di sudut tembok. Begitulah orang pacaran, ga perlu pertimbangan tempat yang lebih pantas lagi. Dunia cuma milik berdua, yang lain jadi pengungsi.

Bayanganku tentang kompleks Taman Sari di bagian itu berbeda jauh dengan kenyataan. Aku pikir kompleksnya teratur, rapi, dan bersih. Ternyata di bagian itu sudah menyatu dengan kompleks pemukiman penduduk jero benteng (dalam benteng). Bahkan Aziz pun sempat kebingungan ke mana arah Taman Sari lewat sana. Kami sempat bolak-balik seperti orang hilang, aku pada waktu itu percaya dengan pengatahuan Aziz. Tapi setelah lama juga putar-putar di perkampungan situ ga keluar pusing juga akhirnya. Sampai kami melihat 2 orang turis lokal plus seorang guide melalui lorong bawah tanah dan kami pun mengikuti mereka. Unik juga jalur yang mesti dilewati untuk ke Taman Sari dari Ngasem. Lorong bawah tanah kira-kira sepanjang 60 meter. Sampai di ujungnya kami berjalan menyusuri kompleks utama Taman Sari. Benar-benar dipadati dengan pemukiman penduduk. Jalan dari Ngasem menuju Taman Sari mirip labirin. Kecuali baca peta yang baik atau dengan bantuan alat GPS, buat pengunjung yang baru pertama kali lewat jalan kecil di sana cuma bisa putar-putar ga tentu arah.

Kami tiba juga di Taman Sari. Sudah jam 4 sore dan gerimis baru saja mengguyur daerah ini. Taman Sari ternyata sudah tutup. Agak kecewa juga dan kami pun balik badan pulang. Jalan yang kami ambil selanjutnya bukan jalan seperti di awal tadi. Kami ambil jalan yang lain dan sialnya jalannya tambah rumit. Sudah ga tahu arah tambah pula dengan jalan yang tambah belibet. Kami tanya sini tanya sana. Seorang guide yang kami tanya menunjukkan jalan ke arah Ngasem lagi, kebetulan dia juga mengarah ke sana. Sepanjang jalan dia cerita kalau ada pernah "orang hilang" (tersesat) di kompleks pemukiman itu. Seharian putar-putar ga tentu arah.

"Coba kalau dia mau pakai jasa guide, mungkin ga perlu sampai kaya gitu," kata guide.

"Lha situ sendiri orang asli sini (Ngasem)?" tanyaku.

"Iya. Saya sudah hapal jalan sini. Coba tadi kalau masnya ikut rombongan saya, ga bakalan bingung dan ga muter-muter di kampung sana," tambah si guide.

Hmmm...ternyata dia tadi memperhatikan kami yang kebingungan arah. Aku sadar juga sih kami terlalu sok tahu daerah itu.

Bahkan selama kami bingung di sana Aziz sempat bilang, "Si Haryo yang rumahnya dekat Ngasem saja ga tau jalan sini. Kalau Pak E cukup sering main ke sini jadi ga bingung."

Lewat jalan kecil akhirnya kami sampai juga di Ngasem.

"Nah, kita sudah sampai Mas. Sudah tahu kan sana Ngasem?" tanya guide.

"Ternyata tembusnya di sini toh," gumam Aziz.

"Ya sudah ya, saya mau balik dulu," kata guide.

"Matur nuwun," kataku dan Aziz bebarengan.

Aku dan Aziz tersenyum lega. Bisa juga sampai di Ngasem. Kami sempat melihat beberapa mahasiswa yang berfoto sana sini di Ngasem. Terlihat masih pemula dari cara mereka bergerak. Selalu bergerombol dan pakai kamera film SLR standar, Nikon FM-10. Cara mereka bicara dengan orang pun masih canggung.

"Mbak, saya difoto dong. Mau ga foto sama saya?" goda Aziz setelah kami mengambil motor.
Yang digoda cuma buang muka ke arah lain. Belum tahu dia kalau Aziz juga tukang foto dulu. Aku cuma tertawa melihat kegenitan Aziz. Somehow, underneath his horrifying look, he has a strange charm. Walaupun wajahnya gahar, rambutnya gondrong plus jenggot kambingnya, Aziz tetap mempesona beberapa wanita. Itulah Aziz.

Urusan perikanan sudah beres, celingukan sedikit ke dalam Pasar Ngasem dan coba mampir ke Taman Sari walaupun tutup. Nyasar dikit-dikit di antara Ngasem dan Taman Sari, lumayan bisa jadi pengalaman nanti. Sudah cukup capek hari ini, saatnya pulang, mandi, makan lagi, dan istirahat.

Ziz, tempat mana lagi yang mau kita samperin?

2:10 PM May 5th ‘07
Winamp muter : Arkarna - So Little Time