Tuesday, April 03, 2007

Depok Beach, The Fisherman Gathering Point

by A. Junaidy

Minggu, 1 April 2005. Sehari sebelumnya, Sabtu, tanggal merah. Hari Maulud Nabi. Hmm...tanggal merah berjejer yang sering diharapkan banyak orang yang sudah kerja atau selalu dapat kesibukan. Cuma berhubung jatuhnya Sabtu dan banyak kantor yang cuma buka buat 5 hari kerja jadi ga terlalu berpengaruh. Buat kami, inilah hari buat jalan. Tujuan hari ini, Pantai Depok.

Ada banyak nama Depok di dalam peta Indonesia. Aku pernah hinggap di Depok selatan Jakarta. Sekarang jadi mahasiswa di daerah Depok, Sleman, Jogja. Hari ini main ke Pantai Depok di selatan Jogja. Entah ada berapa banyak Depok yabg bisa disebutkan, kalau ada yang tahu silakan comment. Pantai Depok ada di selatan Jogja. Jaraknya sekitar 25 km dari Jogja, itu kalau lihat penunjuk jalan. Pantai Depok jadi salah pantai yang menyusun pesisir selatan Jogja, menghadap Samudera Hindia. Ada banyak pantai di Jogja, yang paling dikenal Parangtritis karena sering jadi tempat tujuan wisata. Pantai Baron, Krukup, Krakal, Parangkusumo, Depok dan masih ada beberapa lagi.

Masing-masing pantai punya daya tarik. Pantai Depok ada di bagian barat Parangkusumo. Parangtritis ada di sebelah timur Parangkusumo. Soal Parangkusumo nantilah ceritanya. Khusus di Pantai Depok, ada tempat pelelangan ikan. Di sinilah para nelayan yang baru pulang melaut menjual hasil tangkapannya. Ada yang menyebut tempat pelelangan, ada juga yang menyebutnya pasar ikan. Tempat ini mirip dengan Muara Karang di Jakarta. Ikan segar yang dijual dari tangkapan melaut ini bisa langsung kita beli dan minta dimasakkan di sana juga.

Menuju Depok, dari Jogja ikuti jalan ke arah Parangtritis sampai menjelang gerbang tiket masuk Parangtritis. Persis sebelum gerbang tiket utama, belok ke kanan. Masuk lokasi pantai Depok, bayar tiket dulu. Satu orang mesti bayar Rp 1.500, plus kalau naik motor Rp 500, naik mobil Rp 1500. Itu belum biaya asuransi Rp 300. Cuma selalu saja yang namanya tukang pungut Indonesia, mungutnya juga rada ngaco. Aku berboncengan motor dengan Aziz, seharusnya bayar Rp 3.700 (do the number by yourself). Eh dipungutnya Rp 4.000. Aziz sempat protes kok segitu, apa ga kemahalan. Si petugas bilang ini aturan baru, kita lihat di papan tarif seharusnya ga segitu. Seharusnya cuma Rp 3.700. Heleh-heleh. Percuma juga ngeyel gara-gara 300 perak. Biar yang catat itu semua Rakib dan Athid.

Setelah tiket masuk, apakah pungutan selesai di situ? Tentu tidak, nanti ada yang namanya biaya parkir. Motor Rp 2.000, mobil Rp 4.000 kalau hari libur. Dan seperti biasa juga tiket parkirnya sih ga bisa kita bawa pulang alias dipakai bolak-balik sama tukang parkirnya sampai lecek.

Masuk ke pinggir pantai, ada banyak warung yang menyediakan masakan hasil laut. Mulai dari ikan, kerang, kepiting, cumi-cumi dsb. Kalau mau gampang, masuk warung pesan makanan apa yang kita ingin makan, habis itu langsung makan. Atau kita beli ikan segar di pedagang-pedagang yang ada di sebelah barat pintu masuk, terus kita bawa ke warung untuk minta dimasakkan. Nanti kita bayar ongkos memasakkan. Sebaiknya, cara ini dipilih kalau kita ingin makan ikan atau hasil laut yang terkenal “eksotis” alias jarang-jarang ada. Kalau kita mau makan ikan tongkol, cumi, kakap, atau ikan-ikan pasaran sih sudah ada di warung, tinggal order masak, matang tinggal santap. Hasil laut yang dibilang eksotis itu seperti ikan pari, hiu (kecil), penyu, dan lain-lain. Kapan itu pernah coba makan ikan hiu (tapi kok kecil ya?). Ternyata rasanya eneg soalnya banyak minyak di dagingnya. Rasanya juga terbilang tawar hambar walaupun sudah dibumbui. Bukan bumbunya yang kurang kuat tapi memang karakter daging ikan hiu seperti ini, katanya lagi. Aku sendiri ga terlalu antusias buat makan hiu, beberapa cuil sudah cukup, pengen tahu rasanya saja.

Selepas makan, saatnya main ke pantai. Ritual standar lah, berfoto dengan berbagai pose yang ujung-ujungnya nanti nongol di album foto Friendster. And last but not least, someone must be dipped into the water. Saat “pencelupan”, biasanya dilakukan dengan paksa berhubung ga ada yang suka dicelupkan ke laut. Sebelum dicelup harus dipastikan barang-barang berharga sudah diamankan. HP, dompet, arloji atau yang lainnya. Korban kemarin, pertama Rahma yang dicelup bersama para pencelupnya, Danila dan Sani. Lalu, Vita dan terakhir Jon. Sisanya ga tertarik melibatkan diri dan menjauhi garis pantai. Akibat dicelup ke laut jelas ga enak. Air laut kan lengket seperti keringat. Belum lagi pasirnya yang masuk ke mana-mana. Kalau masuk ke kantong sih bisa ga masalah, tapi kalau masuk ke tempat yang sensitif itu sih perlu bilas total!! Mana ga bawa baju ganti lagi.

Kios-kios pedagang di bagian barat menawarkan berbagai jenis ikan. Ada yang masih segar, sudah digoreng atau dibakar. Ada yang dijual satuan ekor, seperti ikan-ika yang berukuran gede atau kiloan.

Ga ada yang spesial dari Pantai Depok selain pilihan hasil lautnya yang berlimpah. Kalau mau makan pun tempatnya juga sekedar tempat makan, bukan tempat yang nyaman buat leyeh-leyeh atau bersantai. Pemandangan laut nya pun standar, bahkan penuh kapal nelayan yang berjajar di bagian barat pantai. Ya karena di sana tempat mereka menjual ikan ke pengepul.

Angin pantai yang kencang di tengah terik matahari jadi modal utama penjual layang-layang. Di sana ga ada tempat berteduh selain di warung-warung. Inilah yang jadi masalah. Orang sebelum ataupun sesudah makan ingin melihat pantai, tidak cuma membaui udara dan aroma pantai saja di warung-warung. Fasilitas air bersih pun ga gampang didapat. Pantai Depok hanya menawarkan keragaman jenis ikan plus banyak warung yang spesialisasinya memasak ikan-ikan. Jadi acara yang nyambung sama pantai Depok sih cuma makan-makan.

Baru dua kali ke Pantai Depok, jadi perlu lebih sering ke sana buat nambah pengalaman soal ini pantai. Bisa jadi ikut melaut semalaman. Kenapa ga? Hmm... pegnen sih pengen tapi sepertinya sulit deh. Bukan karena nelayannya ga mau tapi karena aku ga bisa berenang dengan baik. Itu satu sebab. Kedua, laut selatan (Samudera Hindia) sudah terkenal sering bikin orang hilang lenyap ditelan lautan. Kalau mau nekat ikut, lihat kapalnya saja sudah bikin ga pede. Panjang kapal antara 5 – 7 meter, lebar cuma 1,5 meter plus cadik di kedua sisinya. Tinggi ombak laut selatan minimal 50 cm, maksimalnya tercatat 4 meter kalau lagi musim badai. Itu yang tercatat, yang ga tercatat bisa lebih tinggi lagi. Bayangkan, di tengah laut digoyang ombak yang tingginya setengah meter saja lah, satu ombak periodenya 10 detik (atau lebih cepat), berapa kali kita mesti naik turun gelombang kalau baru di laut 30 menit? Coba kalau semaman? You do the math. Hasilnya? Mabuk laut lah!

Kami balik ke Jogja setelah para korban pencelupan berbilas. Menjelang jam 3 sore, perut kami pun sebenarnya sudah lapar lagi. Kurang banyak makanannya hehehe...

4:10 AM 4/3/2007
Winamp is playing Dewa 19 – Satu Hati (Kita Semestinya)

No comments: